Living in a country that knows nothing better than surviving poverty, I am still in awe of the daily struggle the people in my city has to face. In today's paper I read about a family who can only eat rice once every two or three days. The recent increase of fuel price affected the price of rice and therefore reduced their economic ability. Every day you read about their stories; how these people stand strong against adversity. When you look at them, you wonder about breaking this chain of poverty. You would not know how or where to start.
A friend of mine brought to my attention Bono's plight in the eradication of third world countries' debt; his efforts in helping Africa, his fight against AIDS. Nobody speaks for the poverty in this country, because it has become accepted as part of 'developing'.
But poverty is not just lacking things; in need of things. As Bono puts it in his address to the National Prayer Breakfast Meeting in Washington DC, "This is not about charity, this is about Justice and Equality." As we try to help out the poor, we are working towards equality; to make their life more equal to us. As we raise the awareness of fighting poverty, we are also working on getting rid of Injustice. We try to create a world that is just; "that whether you live or die doesn't determined by where you live."
That was what Bono said about Africa. How about this country?
In the last 10 years, Indonesia has gone through a roller coaster of economic downturns, social unrest and still struggling to find its feet within the so called democracy. The people it is fighting for, is still fighting to get their stomach filled day to day. How ironic is that when the country is richly blessed by oil, minerals and other natural resources the people go hungry? Or is it Justice? the simple fact that we can't have it all??
15 years ago
1 comment:
READ THIS ARTICLE FROM BANDUNG. I THINK IT DEMONSTRATES WHAT YOU ARE SAYING
Ayi Coba Bunuh Diri di Ruang Sidang
Kericuhan seusai pembacaan putusan hakim di Pengadilan Negeri (PN) Bandung kembali terjadi. Ayi Abdul Kodar (47) berupaya bunuh diri dengan memotong urat nadi pergelangan tangan kirinya setelah hakim, Sugianto, S.H., memvonis 3 bulan kurungan, Kamis (9/2).
Begitu hakim membacakan vonis, Ayi sebenarnya sempat protes. Ia ingin menyatakan pembelaan atas perkaranya. Namun, hakim tidak menggubrisnya dan memutuskan menutup sidang. Sebelum sidang ditutup, Ayi tiba-tiba berdiri dan menghampiri hakim. Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan sebilah pisau lipat. Ayi langsung mengiriskan pisau itu ke pergelangan tangan kirinya. Darah bercucuran. Ayi tidak menghiraukannya. Ia berteriak terus- menerus sambil mengacungkan tangannya yang berlumuran darah.
”Pak Hakim, saya minta uang. Saya tidak punya uang untuk membayar panitera,” berkali-kali kalimat itu ia ucapkan. Ayi menendang meja hakim dan menjatuhkan kursi.
Beberapa orang berusaha menghentikan aksi Ayi. Tapi, Ayi tidak dapat dihalangi. Ia terus berteriak sampai akhirnya roboh, karena kehilangan banyak darah.
Jaksa Haerudin pun mengakui kejadian itu. Menurut dia, Ayi dituntut 6 bulan dan diputus 3 bulan kurungan untuk dakwaan penghinaan.
Ayi kemudian dibawa ke RS Halmahera di Jln. LLRE Martadinata, Bandung menggunakan angkot. Ayi mendapat 16 jahitan di pergelangan tangan kirinya.
Imas Hayati (46), istri Ayi, tidak mengetahui pisau yang dibawa Ayi. ”Ia memang resah sejak sidang ini dilanjutkan,” kata Imas. Sidang sempat terhenti beberapa bulan karena Ayi sakit.
Menurut Imas, Ayi adalah korban pembacokan oleh Her pada Desember 2004. Sebelumnya terjadi adu mulut antara Ayi, pedagang di Pasar Sederhana, dan H. Tetapi, H yang telah ditetapkan sebagai tersangka, tidak ketahuan kelanjutan sidangnya. Malah Ayi yang didakwa melakukan penghinaan kepada Her.
Imas mengatakan, Ayi melakukan perbuatan yang membahayakan nyawanya, karena hakim tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyampaikan pernyataan seusai putusan. Ayi juga berteriak meminta uang kepada hakim, karena ia tidak sanggup menyediakan uang yang diminta oknum petugas.
Imas mengungkapkan, sudah dua kali oknum petugas meminta uang untuk kebebasan Ayi. Namun, Imas dan Ayi tidak menyanggupi. ”Untuk membayar biaya perawatan Ayi di rumah sakit saja, harus pinjam dulu,” ujar Imas yang harus membayar biaya pengobatan sekira Rp 450.000,00. (A-153)***
Post a Comment